Jakarta, suarapublic.com - Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Abdul Mu’ti mengatakan ada skenario besar dibalik putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Pihaknya sudah tidak kaget mengetahui putusan MK tersebut karena ada unsur lain diluar hukum yang mempengaruhi putusannya.
Keputusan MK sudah saya dengar, saya secara personal tidak begitu kaget karena sepertinya sudah ada skenario besar yang pada akhirnya gugatan untuk perubahan itu tidak akan dikabulkan tetapi akan diambil ‘jalan tengah’, yang penting dia punya pengalaman memimpin, itu sudah saya duga sejak lama, ujar Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Abdul Mu’ti saat menjadi narasumber dalam Webinar dengan tema MK: Benteng Konstitusi? yang dilaksanakan oleh Moya Institute di Jakarta, Selasa 17/10/2023.
Lebih lanjut ditambahkan Sekum PP Muhammadiyah, keputusan MK itu sangat begitu kasat mata dan jika menggunakan skenario yang akan bisa ditebak. Jadi secara personal saya tidak begitu kaget.
Menurutnya, Indonesia ada masalah dimana banyak hal di Indonesia akhirnya hukum itu dilihat dari sisi formalitasnya saja dan kemudian banyak hal yang berkaitan dengan UU bahkan UUD miskin dan kehilangan dimensi batiniahnya, itu yang sekarang sedang terjadi.
Pernyataan dalam penjelasan UUD 1945 bahwa suatu UU jangan hanya dilihat dari sisi materinya tapi juga suasan kebatinan yang menyertainya sekarang memang sepertinya sudah semakin tercabut sehingga berbagai hal menyangkut UU dan berbagai keputusan legal memang menjadi instrumen untuk kepentingan tertentu dan hal itu begitu kasat mata, pungkasnya.
Kita tidak bisa berharap banyak kepada kawan-kawan DPR akan tetap kritis pada UU tertentu yang itu mungkin dalam konteks penyelamatan negara bisa berbahaya, masyarakat juga apatis karena harapan banyak UU yang berpihak kepada mereka semakin sedikit, jelasnya.
Suasana seperti ini bahaya. Kalau ini betul terjadi, bahwa keputusan MK menjadi bagian dari karpet merah untuk membuka jalan bagi Gibran untuk maju menjadi Wapres, maka akhirnya skenario awal akan muncul dan mudah ditebak, tuturnya.
Dikhawatirkan oleh banyak pihak yang sangat peduli dengan masa depan bangsa dan demokrasi kita yang semakin menurun kualitasnya, menjadi bagian dari preseden buruk bagi konteks demokrasi, tapi jangka panjang merusak Indonesia, tandasnya.
Keputusan MK memicu terjadinya kecewa yang akumulatif dan kemudian menimbulkan kekerasan publik yang tidak bisa dikendalikan, ucapnya.
MK ini sudah menjadi institusi yang justru merusak marwahnya sendiri, dan yang banyak beredar dari penyataan sebagian para hakim konstitusi bahwa mereka tidak mengira akan seperti itu, dan itu seperti diambil sepihak oleh hakim tertentu di MK, ini juga bisa menjadi preseden buruk dan perpecahan dalam internal MK yang itu tidak seharusnya terjadi, kata Sekum PP Muhammadiyah.
Sementara itu pada kesempatan yang sama, Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi mengatakan setelah berjalan 20 tahun, performa MK telah menjauh dari desain awalnya, dimana MK diperintah oleh UUD menegakkan konstitusional.
Menurut Hendardi, MK telah menjelma menjadi lembaga superbodi yang nyaris tidak bisa dikontrol, kecuali melalui mahkamah kehormatan etik.
Satu-satunya lembaga yang tidak memiliki desain check and balances adalah MK, karena MK terbiasa melanggar berbagai prinsip peradilan konstitusi, setiap kali dpr dan Presiden merubah UU MK, dimana membatasi secara teknis kewenangan MK, maka mereka akan membatalkannya. Itu yang terjadi, jelas Hendardi.
Putusan MK yang baru saja dirilis kemarin tersebut saya kira adalah akumulasi penympangan yang selama ini dilakukan MK di dalam menguji berbagai peraturan perundang-undangan.
Sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan MK, rendahnya integritas MK untuk menjaga conflict of interest di dalam memeriksa perkara, bagaimana mungkin MK mengadili UU MK yang mengatur dirinya sendiri. Ini bertentangan dengan asas ‘seseorang tidak boleh menjadi hakim dalam suatu perkara jika mereka memiliki kepentingan dalam perkara tersebut, ujarnya.
Kebiasaan MK memutus perkara melebihi apa yang diminta atau dimohonkan, dan ini menjadikan kegaduhan di luar sidang sebagai pertimbangan dalam memutus perkara. MK tengah berubah menjadi berpedoman utama konstitusi pungkasnya.
MK benar-benar sedang mempromosikan konstitusional evil atau kejahatan konstitusional. Karena pada intinya, MK tidak lagi menegakkan konstitusi tetapi mengakomodami aspirasi politik dari aktor politik, bukannya menjadi wasit yang adil dan pengatur irama politik, justru MK membuka diri untuk dipolitisasi dengan mengakomodasi kehendak politik, utamanya yang datang dari aktor penguasa, jelasnya
Oleh karena itu, di atas masalah elektoralisme, apakah Gibran akan maju atau tidak, itu bukan urusan saya, yang utama hari ini adalah, MK jatuh ke titik integritas terendah dalam 20 tahun terakhir, bahkan baru pertama kali Hakim MK menyampaikan ketidaksetujuannya secara terbuka dan tajam.
Sejak awal saya sudah mengingatkan bahwa pilihan MK melakukan sidang dengan memeriksa praktik perkara, bukan langkah tepat dari konsistensi dengan tugas MK, imbuhnya
Semestinya sejak sidang pembukaan MK sudah bisa memutuskan bahwa uji materiil batas usia minimal capres dan cawapres bukanlah isu konstitusional dan bukan urusan MK.
Menurut Sekum PP Muhammadiyah oleh karenanya sejak awal dinyatakan tidak diterima. Dalam sidang pendahuluan seharusnya didesain untuk menyaring perkara mana yang masuk dalam kewenangan MK dan menegaskan ada tidaknya isu konstitusional di dalam sebuah norma, bukan seperti menjadi ‘Mahkamah Keranjang Sampah’, semua perkara mencoba dijalani.
Pada kesempatan yang sama, selain bukan isu konstitusional, batas usia dalam pengisian jabatan publik itu jelas merupakan open legal policy, atau kebijakan hukum terbuka, yang oleh karenanya bukan kewenangan MK untuk kemudian mengaturnya, tuturnya.
Hal lain yang juga fundamental adalah sejak berdiri MK telah mempertegas batasan tafsir diskriminasi yang seringkali dijadikan argumen dari dalil pengujian konstitusi, konstitusionalitas, norma, banyak salah kaprah menggunakan dalil diskriminasi yang sebenarnya adalah bentuk perlakuan berbeda di dalam kondisi yang berbeda. Dalam riset 10 tahun kinerja MK yang lembaga kami lakukan (Setara Institute), ini pada 2013 mencatat bahwa MK telah berkontribusi memberikan batasan pemaknaan terhadap konsep diskriminasi dan non-diskriminasi, jelasnya.
Semua catatan akademis telah disimpangi, khususnya oleh 5 hakim konstitusi yang secara memalukan mengabulkan kehendak rezim, pungkasnya.
Apapun alasannya, MK telah melampaui batas kewenangannya, MK telah mengambil alih peran DPR dan Presiden, dua institusi yang mempunyai kewenangan legislasi, tegasnya.
Karena dengan Putusan menerima dan mengubah bunyi pasal tersebut, artinya MK menjalankan positif legislatif, MK juga sesuka hati menafsir ketentuan open legal policy sesuai selera penguasa, tandasnya.
MK yang mengklaim sebagai satu-satunya lembaga penafsir konstitusi, nyatanya telah memimpin penyimpangan kehidupan berkonstitusi, dan mempromosikan keburukan atau kejahatan konstitusional, ucapnya. Rill/Red